UCAPAN YESUS "AKULAH DIA"
David M. Ball
Tesis pasal ini ialah: ucapan-ucapan "εγω ειμι - EGÔ EIMI", ('Aku ada, Akulah Dia') [1] dalam' Injil Yohanes dengan sengaja mengacu pada ucapan-ucapan yang serupa dalam Kitab Yesaya dan dengan demikian menyamakan Yesus dengan Allah Perjanjian Lama (kontra Robinson 1985: hlm. 386; bandingkan Barrett 1982: hlm. 12 dst.). Ucapan itu dalam Injil Yohanes tidak hanya mempergunakan nama yang hanya dapat dipergunakan oleh Allah (kontra Dodd 1954: hlm. 93-96 dan Brown 1966,2: hlm. 533-538), melainkan mengacu juga kepada konteks dari beberapa nats dalam Yesaya yang menegaskan hak Yhwh untuk menyelamatkan Israel. Sebab, Dialah Allah satu-satunya dan tidak ada ilah lain di hadapan-Nya. Menurut Injil Yohanes, Yesus memberlakukan bagi diri-Nya kata-kata yang mula-mula diucapkan Allah dalam konfrontasi dengan ilah-ilah asing. Kita akan membicarakan bagaimana rumusan "Akulah Dia" dalam Injil Yohanes dilatarbelakangi oleh Kitab Yesaya; dan
Dalam pembahasan ini kita akan membatasi perhatian kita pada Yohanes [2]
Catatan :
[1] Ucapan-ucapan yang dimaksud adalah egô eimi yang tidak memiliki predikat termasuk segala ucapan egô eimi yang tidak diikuti dengan kiasan seperti "Roti Hidup" atau "Gembala yang baik".
[2] Untuk diskusi lengkap, lihat Ball (1992).
1. Latar belakangnya dalam Kitab Yesaya
2. Implikasi latar belakang itu
3. Kesimpulan
Sebagai kesimpulan, dapat dikatakan, melalui frase EGÔ EIMI, Yohanes memperlihatkan Yesus sebagai penggenapan nubuat-nubuat Yesaya [38]. Nubuat-nubuat itu menggambarkan saat, ketika TUHAN sendiri akan menebus umat-Nya dab membawa mereka pulang ke negeri mereka sendiri. TUHAN saja yang dapat berbuat demikian, karena Dialah Pencipta dan juga TUHAN atas sejarah. Ilah-ilah Babel tidak dapat berbuat demikian. Ketika Yesus berkata "Akulah Dia" seperti yang terdapat dalam Kitab Yesaya, Ia tidak hanya menyamakan diri dengan Allah Israel yang esa dan sejati, tetapi juga menyatakan bahwa hari penyelamatan itu sedang digenapi dalam Dia.
Gambaran Yohanes tentang Yesus langsung bertolak belakang dengan pandangan Hick (1977: hlm. 173-174). Menurut Yohanes, Yesus terlebih dahulu menyatakan diri-Nya sama dengan Allah, baru kemudian Dia disembah sebagai Allah, bukan sebaliknya. Yohanes tidak mengatakan bahwa Yesus hanya diakui atau disembah sama dengan Allah, melainkan Yesus sendiri yang menyamakan diri-Nya dengan Allah. Justru ungkapan inilah yang menimbulkan perlawanan dari para pendengar-Nya (Yohanes 8:59; 10:31-33). Ungkapan ini juga yang menyebabkan Hick dan Wiles menganjurkan agar Injil Yohanes tidak dianggap bersifat sejarah [39]. Menurut mereka Injil Yohanes hendaknya dipandang sebagai tulisan orang Kristen pada kemudian hari, yang tidak memuat catatan historis tentang kata-kata Yesus. Dengan demikian, mereka berharap, agama Kristen tidak lagi akan menafsirkan inkarnasi secara harfiah (Hick 1977: hlm. 183). Jelaslah kata-kata yang merupakan batu sandungan untuk para pendengar Yesus, masih menjadi batu sandungan bagi para penganut pluralisme agama yang membaca Injil Yohanes pada saat ini. Bedanya, para penganut pluralisme agama tidak ingin mengecam Yesus "historis" yang menyebut diri-Nya seperti itu; mereka justru mengecam gereja dan menganggapnya terlalu sombong karena menyamakan Yesus dengan Allah Israel yang satu-satunya itu. Pada masa kini, sekali lagi Yesus yang dilukiskan dalam Injil Yohanes itu harus "menghilang dan meninggalkan Bait Allah" (Yohanes 8:59).
Sekalipun demikian, selama ada pengikut-pengikut Yesus dalam dunia, pastilah Ia tetap menjadi terang dunia (Yohanes 9:5). Yesus yang digambarkan Yohanes akan terus menjawab kebutuhan mereka yang buta sejak lahir, sekalipun mungkin saja mereka juga akan dikucilkan, sebab sudah diputuskan bahwa mereka yang mengaku Yesus sebagai Mesias akan dikucilkan (Yohanes 9:22).
Catatan :
[38]Jika, seperti yang dikemukakan oleh Coetzee (1986: hlm. 171), ucapan-ucapan egô eimi Yesus memang sengaja mengacu kepada nubuat-nubuat dalam Yesaya 42-43, maka dapat dikatakan, Yesus mengatakan bahwa nubuat-nubuat itu digenapi dalam diri-Nya sendiri.
[39] Demikianlah pandangan Wiles (1977: hlm. 4) yang menganjurkan agar Injil Yohanes tidak dipakai lagi untuk berbicara tentang ajaran Kristen. Sebab menurut dia. Implikasi-implikasi kristologi Yohanes jelas bertentangan dengan ajarannya sendiri. Hick (1980: hlm. 185) juga mengakui hal yang sama.
Kepustakaan :
Ball,D.M., 1992, "'I Am' in context: The literary function, background and theological implications of ego eimi in John's Gospel", disertasi Universitas Sheffield.
Barrett, C. K.
1978, The Gospel according to St. John, London (SPCK),
1982. Essays on John, London (SPCK).
Borgen, P., 1967, Bread from Heaven: An Exegetical Study of the Concept of Manna in the Gospel of John and the Writings of Philo, Leiden (Brill, SNovT 10).
Brown, R. E., 1966, The Gospel according to John, New York (Doubleday, Anchor Bible, dua jilid).
Bultmann, R.
1955, Theology of the New Testament 2, London (SCM).
1971, The Gospel of John: A Commentary, Oxford (Blackwell, terjemahan). Carson, D. A.
1991, The Gospel according to John, Leicester (IVP)jGrand Rapids (Eerdmans).
Charlier, J. P., 1960, "L'exegese Johannique d'un Precepte Legal: Jean viii.17", RB 67.
Chilton, B. D., 1987, The Isaian Targum, The Aramaic Bible 11, Edinburgh (T. & T. Clark).
Coetzee, J. C., 1986, "Jesus' Revelation in the Ego Eimi sayings in Jn 8 and 9" dalam A South African Perspective on the NT (penyunting J. H. Petzer & P. J. Hartin), Leiden (Brill).
Cracknell, K., 1986, Towards a New Relationship: Christians and People of Other Faith, London (Epworth).
Dodd, C. H. 1954 The Interpretation of the Fourth Gospel, Cambridge (CUP).
Forestell, J, 1974, The Word of the Cross: Salvation as Revelation in the Fourth Gospel, Rome (Pontifical Bible Institute).
Freed, E. D., 1982, "Ego Eimi in Jn viii.24 in the light of its context and Jewish Messianic belief", JTS 33: hlm. 67.
Guilding, A., 1960, The Fourth Gospel and Jewish Worship: A Study of the Relation of St John's Gospel to the ancient Jewish lectionary system, Oxford (Clarendon Press).
Harner, P. B., 1970, The 'I am' of the Fourth Gospel, Philadelphia (Fortress).
Hick, J., 1977, "Jesus and the World Religions" dalam The Myth of God Incamate (penyunting J. Hick), London (SCM).
1980, "Whatever path men choose is mine" dalam Christianity and Other Religions (penyunting J. Hick & B. Hebblethwaite), Glasgow (Collins): hlm. 171-190.
Hoskyns, E. C., 1940 , The Fourth Gospel, London.
Lindars, B., 1972, The Gospel of John, London (Oliphants, NCB).
McKenzie, J. L., 1968, Second Isaiah, New York (Doubleday, Anchor Bible 20).
Robert, R., 1988, "Le Malentendu sur Ie Nom, divin au chaptre VIII de quatrierne evangile", Revue Thomiste 88.2: hlm. 278-287.
Robinson, J. A. T., 1985, The Priority of John, London (SCM).
Schnackenburg, R., 1971, The Gospel according la St John, jilid 2, London (Bums & Oates).
Turner, M., 1990, "Atonement and the Death of Jesus in .lohn: Some Questions to Bulunann and Forestell", EQ 62.2: hlm. 99-122
Westermann, C., 1966, Isaiah 40-66, London (SCM, OTL, terjemahan).
Whybray, R. N., 1975, [i]Isaiah 40-66" London (Oliphants, NCB).
Wiles,M., 1977, "Christianity without incarnation?" dalam The Mytn of God Incarnate (penyunting J. Hick), London (SCM).
Wright, C., 1990, What's Sa Unique abaut Jesus?, Eastbourne (Monareh).
Young, E. J., 1972, The Book of Isaiah 3. Grand Rapids (Eerdmans, New International Commentary).
Young, F., 1977 , "A Cloud of Witnesses" dalam "the My th of God Incarnate (penyunting .I. Hick), London (SCM).
Disalin dari :
- Andrew D Clarke & Bruce W Winter, Satu Allah, Satu Tuhan, BPK Gunung Mulia, hal
=================================================================
BANTAHAN(nanti)
David M. Ball
Tesis pasal ini ialah: ucapan-ucapan "εγω ειμι - EGÔ EIMI", ('Aku ada, Akulah Dia') [1] dalam' Injil Yohanes dengan sengaja mengacu pada ucapan-ucapan yang serupa dalam Kitab Yesaya dan dengan demikian menyamakan Yesus dengan Allah Perjanjian Lama (kontra Robinson 1985: hlm. 386; bandingkan Barrett 1982: hlm. 12 dst.). Ucapan itu dalam Injil Yohanes tidak hanya mempergunakan nama yang hanya dapat dipergunakan oleh Allah (kontra Dodd 1954: hlm. 93-96 dan Brown 1966,2: hlm. 533-538), melainkan mengacu juga kepada konteks dari beberapa nats dalam Yesaya yang menegaskan hak Yhwh untuk menyelamatkan Israel. Sebab, Dialah Allah satu-satunya dan tidak ada ilah lain di hadapan-Nya. Menurut Injil Yohanes, Yesus memberlakukan bagi diri-Nya kata-kata yang mula-mula diucapkan Allah dalam konfrontasi dengan ilah-ilah asing. Kita akan membicarakan bagaimana rumusan "Akulah Dia" dalam Injil Yohanes dilatarbelakangi oleh Kitab Yesaya; dan
Dalam pembahasan ini kita akan membatasi perhatian kita pada Yohanes [2]
Catatan :
[1] Ucapan-ucapan yang dimaksud adalah egô eimi yang tidak memiliki predikat termasuk segala ucapan egô eimi yang tidak diikuti dengan kiasan seperti "Roti Hidup" atau "Gembala yang baik".
[2] Untuk diskusi lengkap, lihat Ball (1992).
1. Latar belakangnya dalam Kitab Yesaya
- Para ahli (misalnya Harner1970) yang meneliti Injil Yohanes sudah lama menyadari bahwa penggunaan 'ANI HU dalam Kitab Yesaya sejajar dengan"EGÔ EIMI" dalam InjilYohanes. Dari bukti yang ada, ternyata bukan hanya kata-kata EGÔ EIMI saja, melainkan juga cara merumuskan ucapan itu dalam Injil Yohanes mengacu pada perikop-perikop dalam Kitab Yesaya yang membuat arti ucapan Yesus lehih jelas lagi. Ungkapan "percaya, bahwa Akulah Dia" dan "tahu, bahwa Akulah Dia" (Yohanes 8:24,28) mengingatkan pembaca akan ucapan-ucapan dalam Perjanjian Lama yang dihubungkan secara khusus dengan pengetahuan dan kepercayaan akan Tuhan Allah. Kata-kata yang menyertai ucapan ego eimi dalam Injil Yohanes juga mengacu pada latar belakangnya dalam Kitab Yesaya. Ini berarti, ucapan seperti Yohanes 8:18 yang biasanya tidak termasuk kumpulan ucapan "Akulah Dia", mengingatkan pembaca juga akan perikop-perikop tertentu dalam Kitab Yesaya. Hal ini akan diuraikan dalam pembahasan berikut [3].
Catatan :
[3] Lihat Ball (1992) untuk diskusi tentang pendapat bahwa Yesaya memberi latar belakang utama dari ucapan egô eimi dalam Injil Yohanes. Lebih lanjut dijelaskan bahwa, bukan hanya kata-kata dari rumusan itu yang mengarahkan perhatian pembaca kepada Kitab Yesaya, melainkan juga perumusannya. Perhatikan juga bahwa struktur Yohanes 4:26 sejajar dengan "Yesaya 52:6 dalam Septuaginta sehingga maknanya mungkin lebih dan sekadar menyatakan bahwa Yesus adalah Mesias. Dengan menyatakan "Akulah Dia", Yesus mengucapkan kata-kata YHVH yang akan digenapi pada waktu la datang kelak untuk menebus Zion.
a. Yohanes 8:18
Kita mulai dengan ucapan? Yesus bahwa Dialah yang bersaksi tentang diri-Nya sendiri (egô eimi ho marturôn peri emautou). Ucapan ini sangat mungkin mencerminkan kata-kata dari Yesaya 43:10 dan juga apa yang dikatakan tentang seorang saksi dalam Ulangan 19:15 [4]. Teks Ibrani dari Yesaya 43:10 tampaknya menyamakan Israel dengan Hmba Tuhan sebagai seorang saksi [5], jadi tepatlah terjemahan "Kamu inilah saksi-saksi-Ku demikianlah firman TUHAN, dan hamba-Ku yang telah Kupilih": Tetapi dalam Septuaginta Yesaya 43:10 berbicara tentang tiga saksi: "orang-orang yang disapa, Allah sendiri, dan Hamba-Nya, ketiganya memberi kesaksian tentang keunikan Allah orang Ibrani" [6]. Lebih dahulu (ayat 9) Tuhan Allah berseru kepada bangsa-bangsa supaya mereka membawa saksi-saksinya lalu Ia berseru kepada Israel untuk menjadi saksi bagi Dia. Tuhan Allah juga adalah saksi, demikian pula hamba yang dipilih-Nya. Jika sebutan Yesus terhadap dirinya sebagai saksi, merupakan kutipan Yesaya 43:10, maka bukanEGÔ EIMI melainkan kata-kata di sekitarnya yang membuat maknanya jelas dalam Injil Yohanes. Yesus mengambil peran saksi dari nats dalam Kitab Yesaya tersebut dan menerapkannya kepada diri-Nya sendiri [7].
Dalam Kitab Yesaya, Tuhan Allah berbicara tentang sifat hamba yang dipilih-Nya dan yang dipanggil-Nya untuk menjadi saksi bagi Dia. Hamba ini dipilih:
- " ... menjadi perjanjian bagi umat manusia,
menjadi terang untuk bangsa-bangsa,
untuk membuka mata yang buta,
untuk mengeluarkan orang hukuman dari tempat tahanan
dan mengeluarkan orang-orang yang duduk dalam gelap dari rumah penjara" (Yesaya 42:6,7) [8]
Sebagai orang yang menjadi terang untuk bangsa-bangsa, hamba Tuhan harus bersaksi tentang Dia (Yesaya 43:10). Teks Yunani dari Yesaya menyebutkan bahwa Tuhan Allah akan bersaksi tentang Hamba itu, seperti Bapa bersaksi tentang Yesus dalam Injil Yohanes. Karena itu ketika Yesus mengatakan bahwa Ia bersaksi, Ia mengambil alih tugas yang dipercayakan kepada Hamba itu dalam Kitab Yesaya. Peran Yesus sebagai saksi yang sah mulai dibicarakan dalam Injil Yohanes ketika Ia berkata bahwa Dia adalah Terang Dunia yang akan memberi terang hidup kepada mereka yang mengikuti-Nya (Yohanes 8:12,13) [9]. Yesus memenuhi tugas seorang hamba dan karena itu kesaksian-Nya itu benar, sebab Hamba yang dipilih itu ditugaskan untuk bersaksi dan membawa terang [10]. Menurut Yohanes 8:18, Bapa dan Yesus sama-sama menggenapi apa yang dikatakan Yesaya dan juga menggenapi (secara tidak langsung) apa yang diminta sebagai syaratuntuk saksi yang benar menurut Ulangan 19:15 [11].
Bila benar pernyataan Yesus tentang diri-Nya sendiri sebagai saksi, mengacu kepada kesaksian Hamba Tuhan dalam Yesaya 43:10, kita dapat mempertanyakan apa isi kesaksian hamba itu? Di sinilah latar belakang dari ucapan "Akulah Dia" dan ucapan-ucapan yang serupa dalam Yohanes 8:24 dan 28 menyentuh soal pluralisme. Hamba itu memberi kesaksian tentang pernyataan YHVH yang menyatakan diri-Nya sebagai Allah dan Juruselamat satu-satunya. McKenzie (1968: hlm. 53-54) mengatakan:
- "Di sini monoteisme Deutero-Yesaya kelihatan sejelas-jelasnya. Israel dapat bersaksi bahwa hanya YHVH saja Allah, bahwa Ia kekal. Israel dapat bersaksi tentang kuasa dan kebebasan-Nya, karena Israel telah mengalami kuasa dan kebebasan itu dalam sejarah mereka. Hanya YHVH saja yang menghakimi dan menyelamatkan; tiada ilah atau manusia yang dapat menghalangi karya-Nya."
Yesus mengemban tugas bersaksi yang disebutkan dalam Yesaya 43:10 dan dengan demikian secara tak langsung Ia bersaksi juga tentang kuasa untuk menyelamatkan yang dimiliki Allah saja. Dengan menyebut diri-Nya sebagai "Akulah Dia" Yesus juga menyatakan secara tak langsung bahwa keselamatan itu terjadi melalui diri-Nya sendiri. Ucapan "Akulah Dia" berikut dalam Yohanes 8 menegaskan hanya Yesus saja yang menyelamatkan.
Catatan :
[4] Kemiripan Yohanes 8:18 dan 4:26 barangkali dimaksudkan untuk mengingatkan pembaca tentang apa yang dikatakan Yesus dalam ayat pertama itu. Sama seperti ucapan egô eimi dalam Yohanes 4:26, perumusannya dalam 8:18 sangat aneh. Jika Yesus ingin berkata "Aku bersaksi tentang diri-Ku", maka Ia dapat mengatakan saja egô marturô' yang lebih sederhana dari egô eimi ho marturôn peri emautou (bandingkan Charlier 1960: hlm. 513). Sama seperti dalam 4:26, keanehan itu mungkin disebabkan penggunaan bahan latar belakang oleh Yohanes. Tetapi, tidak seperti dalam 4:26 tidak terdapat kesejajaran bentuk bagi 8:18 dalam Septuaginta. .
[5] Ada kemungkinan hamba Tuhan adalah saksi yang tersendiri, sebab hamba itu berbentuk tunggal, padahal Israel berbentuk jamak. Tetapi karena "Hamba-Ku" disamakan dengan Israel di tempat lain, maka tidak mungkin demikian halnya (bandingkan 44:1).
[6] Freed (1982: hlm. 67). Bunyinya genesthe moi martures, kai egô martus, legei kurios ho theos, kai ho pais han exelexamên .... Tampaknya tidak mungkin Yohanes mengikuti teks Ibrani dari ayat ini, karena di situ tidak ada peranan Tuhan Allah sebagai saksi, dan karena itu tidak ada kesejajaran Yesus dan Bapa yang keduanya bersaksi dalam Yohanes. Yohanes tampaknya memakai tradisi yang serupa dengan Septuagina, bukan teks Masora. Dalam Targum ayat itu menyebut dua saksi, bukan hanya satu seperti teks Masora, tetapi bukan TUHAN melainkan Mesias yang merupakan saksi kedua. "'Kamulah saksi', firman TUHAN, 'dan hamba-Ku Mesias yang berkenan kepada-Ku, supaya kamu dapat mengeta¬hui dan percaya di hadapan-Ku dan mengerti bahwa Akulah Dia"'. Chilton (1987: hlm. 84-85).
[7] Pemakaian Perjanjian Lama secara demikian lebih cocok dengan cara memakai ucapan egô eimi lengkap dengan predikat (misalnya "Akulah [egô eimi] terang duniaa, Yohanes 8:12) dari dengan ucapan yang tidak mempunyai predikat. Dalam Yohanes 6:35 egô eimi secara eksplisit digunakan untuk menerapkan gagasan Perjanjian Lama kepada Yesus dan tnl merupakan preseden bagi pemakaian ungkapan itu dalam Yohanes 8:18. Menurut Borgen (1967: hlm. 78) ini merupakan cara penafsiran midrasy yang lazim.
[8] Hoskyns (1940,2: hlm. 377) menjelaskan sebagai berikut: "Dalam Yesaya 43:8-13 pentingnya kesaksian dihubungkan dengan egô eimi yang diucapkan Allah dan juga keseluruhannya diarahkan kepada pemindahan kebutaan umat dan keselamatan bangsa-bangsa" (bnd. Guilding 1960: hlm. 109).
[9] Dalam tesis saya (1992) diperlihatkan bahwa penyataan Yesus tentang diri-Nya sebagai terang dunia juga didasarkan pada perikop dalam Kitab Yesaya ini. Menarik untuk diperhatikan bahwa orang Yahudi menuduh Yesus mengemukakan kesaksian yang tidak benar (ouk estin alêthês, (ayat 13). Dalam Kitab Yesaya TUHAN memanggil dunia untuk mendengar dan bersaksi "Benar demikian" (alêthês, Yesaya 43:9). Mengenai ayat ini E. J. Young (1972) menuliskan: "Jika bangsa-bangsa tidak bisa mengemukakan saksi-saksi mereka sendiri, biarlah mereka mendengarkan apa yang dikatakan TUHAN dan mengakui kesaksian Allah benar. Hal yang sama terungkap dalam pernyataan Yesus (Yohanes 8: 18).
[10] Bandingkan Freed (1982: hlm. 167). Dalam Injil Yohanes "Bapa yang mengutus aku" (Yohanes 8:18) sejajar dengan "hamba yang Kupilih". Yesus menyamakan diri dengan Israel tatkala Ia menyebut diri-Nya sebagai pokok anggur yang benar (Yohanes 15:1,5).
[11] Freed (1982: hlm. 167) memperhatikan perikop yang serupa dalam 1 Samuel 12:5 di mana Septuagintamengikuti teks Ibrani. Dalam ayat itu Samuel berkata, martus kurios en humin kai martus khristos autou ... Freed berpendapat, dalam Yohanes 8:18 Yesus dilihat sebagai khristos (Yang diurapi') dan bersaksi bersama-sama dengan Allah. sama seperti orang yang diurapi itu bersaksi untuk membela Samuel. Freed lebih lanjut mengatakan bahwa sebagai Mesias, Yesus dapat bersaksi tentang diri-Nya dan tidak usah memanggil dua saksi seperti yang dilakukan Samuel. Tidak dapat dipastikan apakah keserupaan antara kedua ayat tersebut dapat membuktikan bahwa dalam Yohanes 8 Yesus dilihat sebagai Mesias. Namun pandangan Freed menguatkan bahwa pernyataan Yesus tentang diri-Nya sebagai saksi boleh jadi berasal dari Perjanjian Lama. Mengingat adanya hal-hal lain yang serupa antara Yohanes 8 dan Yesaya 42-43, lebih mungkin bila nats dari Kitab Yesaya dilihat sebagai latar belakang terhadap pernyataan Yesus tersebut.
b. Yohanes 8:24,28
Dalam ayat 18 "Akulah Dia" menyatakan tugas Yesus, tetapi ayat 24 dan 28 terutama menyebut tentang jati diri-Nya [12]. Yang penting dalam kedua ayat ini ialah tentang tahu atau percaya bahwa EGÔ EIMI ("Akulah Dia").
Menanggapi pernyataan Yesus tentang diri-Nya itu, orang Yahudi bertanya "Siapakah Engkau?" (ayat 25). Pertanyaan ini menunjukkan bahwa mereka pun memahami jika mereka tidak mau mati dalam dosa mereka, maka mereka harus mengenal Yesus. Ungkapan ego eimi secara harfiah berarti "Aku adalah" dan dari segi tata bahasa belumlah lengkap dan masih membutuhkan predikat (misalnya "Aku adalah Gembala") supaya jelas artinya [13]. Tetapi dalam ayat 24 dan 28 tidak terdapat suatu predikat yang melengkapi frasa EGÔ EIMI tesebut agar menjadi jelas siapa Yesus [14]. Sifat orang Yahudi yang ingin memperlengkapi ucapan itu dengan suatu predikat, memang betul dari segi tata bahasa.
Kembali terjemahan Kitab Yesaya dalam Septuaginta merupakan kunci untuk memahami kedua ucapan "Akulah Dia" dan juga ucapan dalam Yohanes 13:19. Seperti sebelumnya, bukan kata-kata EGÔ EIMI sendiri, melainkan perumusan kata-kata yang menyertai ucapan itu, yang memberi kunci untuk menafsirnya, Kedua frase "tahu bahwa" dan "percaya bahwa" yang dikaitkan dengan EGÔ EIMI tampaknya mencerminkan bagian kedua dari Yesaya 43:10:
- "sebab jikalau kamu tidak percaya, bahwa Akulah Dia, kamu akan mati dalam dosamu" (Yohanes 8:24);
"Apabila kamu telah meninggikan Anak Manusia, barulah kamu tahu, bahwa Akulah Dia" (Yohanes 8:28);
[cologreen]"Kamu inilah saksi-saski-Ku ... supaya kamu tahu dan percaya dan mengerti bahwa Akulah Dia"[/color] (Yesaya 43:10) [15]
Kata-kata Yesus dalam Yohanes 8 memang sengaja mirip dengan kata-kata Tuhan Allah dalam Yesaya 43, sehingga kata-kata tersebut dapat ditafsirkan dalam terang tulisan Yesaya [16]. Ada beberapa tema yang terdapat dalam kedua perikop itu. Dalam Kitab Yesaya, Tuhan Allah akan "diadili" di hadapan bangsa-bangsa untuk menunjukkan hanya Dia Allah. Karena itu Ia membutuhkan kesaksian yang benar (ayat 9). Begitu juga kesaksian Yesus ditantang oleh lawan-lawan-Nya yang menganggap Yesus tidak berhak menyebut diri-Nya Terang Dunia. Mereka mengatakan, kesaksian-Nya tidak benar (Yohanes 8:13). Tujuan dari kesaksian Israel ialah "supaya kamu tahu dan percaya kepada-Ku dan mengerti, bahwa Aku tetap Dia" (Yesaya 43:10) [17]. Ucapan Yesus "Akulah Dia" juga menyangkut soal tahu dan percaya, walaupun Ia memperingatkan para penentang-Nya akan akibat ketidakpercayaan mereka. Dalam Injil Yohanes pengetahuan itu akan dinyatakan kepada mereka tatkala mereka telah meninggikan Anak Manusia (Yohanes 8:28) [18].
Namun ada juga perbedaan pemakaian istilah-istilah dalam Kitab Yesaya dan dalam Injil Yohanes. Dalam Kitab Yesaya, Tuhan Allah memanggil para pendengar-Nya untuk bersaksi bahwa kesaksian-Nya adalah benar, sedang dalam Injil Yohanes Yesus bersaksi bersama-sama dengan Bapa sehingga Ia tidak memerlukan saksi-saksi lain. Dalam Kitab Yesaya saksi tersebut digambarkan sebagai bangsa yang buta dan tuli (Yesaya 43:8) [19]. Sementara, dalam Injil Yohanes bukan Yesus, melainkan orang Farisi, yang disebut buta.
Dalam Kitab Yesaya, kata-kata Ibrani 'ANI HU, sama seperti kata-kata Yunani EGÔ EIMI, tidak ada arti tanpa predikat, dan predikat itu harus ditentukan dari konteks [20]. Dalam Yesaya 43:l0b-11 YHVH menyatakan diri-Nya sebagai Juruselamat Israel yang satu-satunya [21]:
- "Sebelum Aku tidak ada Allah dibentuk, dan sesudah Aku tidak akan ada lagi.
Aku, Akulah TUHAN,
dan tidak ada juruselamat selain dari pada-Ku."
Kembali, konteks inilah yang menyentuh soal pluralisme. Yesus mengutip kata-kata yang menyebut hak Tuhan Allah saja untuk menyelamatkan Israel dan Ia menyebut diri-Nya demikian. Dengan kata lain, di dalam Dialah akan kelihatan keselamatan dari Tuhan Allah itu. Pada saat Anak Manusia ditinggikan di atas salib, orang Yahudi akan tahu bahwa "Aku, Akulah TUHAN, dantidak ada juruselamat selain dari pada-Ku" [22]. Patut diperhatikan, dalam ayat ini dan lebih jelas lagi dalam Yesaya 52:6, frasa 'ANI HU sejajar dengan frasa- 'ANI YHVH; kedua ungkapan ini tampaknya sama artinya (Harner hlm. 14-15).
Jika orang Yahudi yang tidak percaya kepada "Akulah Dia" itu akan mati dalam dosa-dosanya, maka kita dapat menyimpulkan bahwa bila mereka percaya, mereka akan diselamatkan dari kematian yang demikian. Jadi dapat dikatakan, ucapan-ucapan "Akulah Dia" ini terdapat dalam konteks pengampunan dosa. Hubungan ucapan EGÔ EIMI dan masalah dosa memberi kesan bahwa ucapan "Akulah Dia" dalam Yohanes 8:24 mengacu pada Yesaya 43:24b-25 [23]. Dalam terjemahan ayat-ayat ini dalam Septuaginta ungkapan ego eimi itu terdapat dua kali:
- "Tetapi Aku menolong engkau dalam dosamu dan dalam kesalahanmu. Aku, Akulah Dia (egô eimi egô eimi ) yang menghapus dosa pemberontakanmu oleh karena Aku sendiri, dan dosamu tidak akan Kuingat lagi."
Dalam ayat-ayat berikutnya Tuhan Allah berseru supaya umat-Nya mengingat Dia (ayat 26) dan memperingatkan mereka akan hukuman yang didatangkan-Nya atas orang yang berbuat dosa terdahulu. Ucapan "Akulah Dia" dari Kitab Yesaya ini membuat jelas peringatan Yesus bahwa orang Yahudi akan mati dalam dosa mereka, karena dalam Kitab Yesaya ucapan itu terdapat dalam konteks beban dosa yang ditaruh oleh orang Yahudi pada Tuhan Allah. Tetapi mereka harus percaya kepada Dia, ka rena Dialah yang menghapus dosa mereka dan tidak mengingat-ingat pelanggaran mereka. Jika ucapan Yesus "Akulah Dia" dalam Yohanes 8:24 mengacu pada ayat-ayat dalam Yesaya ini dan juga kepada Yesaya 43:10, maka implikasi-implikasi yang sama dapat dikaitkan dengan ucapan "Akulah Dia" dalam Yohanes 8:28. Bila Yesus berkata EGÔ EIMI Ia menyamakan diri-Nya dengan Allah yang mengampuni orang berdosa. Dengan kata lain, pada saat Yesus ditinggikan oleh orang Yahudi akan nyata bahwa Dialah orang yang menghapus pelanggaran dan tidak mengingat-ingat dosa lagi [24]. Tetapi mereka yang tidak percaya akan mati dalam dosa mereka [25].
Dalam bagian ini kita tidak membicarakan pemakaian EGÔ EIMI dalam Yohanes 13:19. Tetapi cukup jelas bahwa frasa "percaya, bahwa Akulah Dia" di sini memperoleh maknanya dari pemakaian kata-kata tersebut dalam Yohanes 8:24,28. Interaksi antara segala ucapan "Akulah Dia" dalam Injil Yohanes mengisyaratkan, bahwa implikasi latar belakangnya mempengaruhi tafsiran Yohanes 13:19 maupun ucapan "Akulah Dia" yang mengakhiri Yohanes 8.
Catatan :
[12] Hal ini secara tidak langsung dinyatakan oleh Schnackenburg (1971: hlm. 198). "Orang yang memperkenalkan diri dengan rumusan ini hendak mengatakan sesuatu yang penting dan unik tentang 'aku'-nya".
[13] Menurut Barrett (1978: hlm. 342), perkataan ego eimi yang terdapat dalam Kitab Yesaya dan Injil Yohanes tanpa predikat (yang eksplisit atau implisit) tidak mempunyai arti secara mandiri dalam bahasa Yunani. Jadi konteks perkataan itu harus menentukan artinya bahkan dalam Perjanjian Lama. Menurut Barrett, arti egô eimisama dengan 'ani hu, yaitu "Akulah senantiasa sama".
[14] Schnackenburg (1971: hlm. 202) menolak pendapat Bultmann (1971: hlm. 349) yang mengusulkan agar Yesus disamakan dengan Anak Manusia dengan alasan: (1) Penyamaan itu akan mengaburkan hubungan ayat 24 dan ayat 28. (2) Yesus tidak pemah berkata secara langsung "Akulah Anak Manusia". Dalam Yohanes 9:35-37 tersirat kesaksian Yesus tentang diri-Nya tetapi egô eimi tidak dikatakan secara langsung. Mungkin Yohanes juga tahu Yesus hanya memakai gelar "Anak Manusia" dalam bentuk orang ketiga. (3) Gelar "Anak Manusia" itu dikaitkan dengan serangkaian gagasan, khususnya "pengagungan" dan "pemuliaan"; gelar-gelar itu dipakai di sini sesudah kata kerja hupsoun. Sedangkan pernyataan egô eimi berdiri sendiri.
[15] Dalam bagian kedua Yesaya 43:10 Septuaginta hampir sama dengan teks Ibrani. Namun perlu diperhatikan, dalam teks Ibrani dikatakan " ... tahu dan percaya kepada-Ku dan mengerti, bahwa Aku tetap Dia (ani hu)". Tampaknya Yohanes mengikuti teks Septuaginta di sini.
[16] Pembaca yang telah melihat hubungan antara kata-kata Yesus dalam Yohanes 4:26 dan kata-kata Yesaya 52:6 dapat melihat pula acuan lain kepada ayat itu dalam kombinasi kata kerja "mengetahui" dan ungkapan egô eimi, yakni Yesaya 52:6: dia touto gnôsetai ho laos mou to onoma mou en tê hêmera ekeinê, hoti egô eimi autos ho lalôn pareimi. Walaupun ada acuan tak langsung kepada ayat ini, namun nats dalam Yohanes 8 mengacu kepada Yesaya 43:10.
[17] Westermann (1966: hlm. 122) menjelaskan, "percaya" berada di antara "tahu" dan "mengerti". Karena itu yang dimaksudkan bukanlah pengetahuan yang membawa kepada kepercayaan atau yang terletak pada kepercayaan, seperti yang mungkin kita pikirkan. Kedua pandangan ini salah mengerti ayat tersebut. Untuk mengerti maksud kata-kata ini kita harus mengesampingkan konsep modem tentang pengetahuan". Whybray (1975: hlm. 84) menjelaskan, "seorang saksi biasanya berperan untuk memberi penjelasan kepada orang lain, bukan kepada dirinya sendiri. Namun "sekalipun tidak cocok dengan konteksnya, Deutero-Yesaya di sini menegaskan tujuan sesungguhnya dari perikop ini dan bahkan dari seluruh karyanya, yakni: agar orang-orang buangan yang mendengarnya yakin akan kuasa YHVH yang unik".
[18] Carson (1991: hlm. 201) menunjuk kepada Yesaya 52:13-53:12 yang berbicara tentang peninggian Hamba yang menderita sebagai contoh yang diikuti Yohanes dalam memakai kata hupsoô yang berganda. Kemungkinan ini hanya menekankan bahwa Yohanes hampir pasti bergantung kepada pemikiran Yesaya dalam mengerti siapa Yesus itu. (Bandingkan Barrett 1978: hlm. 214; Lindars 1972: hlm. 157 yang juga mengusulkan Ezra 6:11 sebagai latar belakang pemakaian kata hupsô.)
[19] Jika benar Yohanes 8 dilatar-belakangi oleh Yesaya 42-43. maka bukanlah kebetulan bahwa tanda dan perdebatan yang terjadi mengambil tema kebutaan yang juga terdapat dalam Yesaya 42:18-20 (bandingkan Yohanes 9:39,41).
[20] Apa yang dikatakan oleh Westermann (1966: hlm. 122) tentang kata-kata Ibrani tersebut. demikian juga yang dikatakan oleh Barrett tentang kata-kata Yunaninya. Menurut Westerrnann "Kita diberitahukan dengan kata-kata singkat yang hampir tak dapat diterjemahkan bahwa 'inilah Aku', atau 'Akulah Dia'. Inilah seruan yang diucapkan dalam perjumpaan pribadi yang artinya senantiasa bergantung kepada konteks yang bersangkutan".
[21] Westermann (1966: hlm. 122) mengemukakan "dalam pidato peradilan tersebut ayat 10 merupakan dukungan terhadap kesaksian yang diberikan".
[22] "Aku, Akulah TUHAN" adalah terjemahan dari teks Septuaginta egô ho theos.
[23] Menurut Lindars (1972: hlm. 320) bentuk penyelamatan yang lebih umum tersirat dalam latar belakang kata-kata Yesus ini. Yang dimaksudkannya penyelamatan yang berhubungan dengan semua perkataan "Akulah Dia" (Yesaya 41:4; 43:10,13,25; 46:4; 48:12; bandingan Ulangan 32:39) yang di dalamnya Yhwh adalah "yang menciptakan segala sesuatu, yang membangkitkan Koresy untuk mengalahkan Babel, dan yang akan memulihkan kemakmuran Israel. Seluruh kuasa-Nya dipusatkan pada penyelamatan terhadap umat-Nya. Sekarang kita mendengar ucapan Yesus yang sama dalam keadaan yang sejajar, yakni:
Allah yang menciptakan segala sesuatu melalui Firman-Nya adalah yang menyelamatkan manusia melalui kehidupan Allah yang menjadi manusia tersebut (bandingkan Yohanes 3:16). Jadi kita dapat menafsirkan ucapan itu sebagai "Akulah Dia dan melalui Aku dilaksanakan penyelamatan".
[24] Menurut Bultmann (1955) dan ForestelI (1974), dalam ucapan "Akulah Dia" ini tidak tersirat bahwa salib menghapuskan dosa. Bultmann mengatakan, "pemikiran tentang kematian Yesus sebagai penebusan dosa tidak terdapat dalam Injil Yohanes" (hlm. 54). Menurut Forestell ia telah berusaha menunjukkan bahwa teologi penyelamatan dalam Injil Yohanes tidak melihat kematian Yesus sebagai kurban penebusan dosa (1974: hlm. 2). Untuk kritikan pendapat Bultmann dan Forestell, lihat Turner (1990: hlm. 99-122).
[25] Ada persesuaian antara kata-kata "Bapa leluhurmu yang pertama sudah berdosa" dalam Yesaya 43:27 dan "kamu perbuat tentang apa yang kamu dengar dari bapamu" dalam Yohanes 8:38 (bandingkan Yesaya 41,44)
c. Yohanes 8:58
Dalam Yohanes 5:58, Yesus berkata prin Abraam genesthai egô eimi. Terjemahan Baru menerjemahkan EGÔ EIMI sebagai "Aku telah ada". Kontras antara genesthai dan eimi dalam ucapan ini, mengingatkan pembaca akan kontras yang serupa dalam pendahuluan Injil Yohanes. Kontras ini berarti, dalam Yohanes 8:58 kata kerja eimi lebih ditekankan daripada kata ganti egô. Ucapan ini merupakan klimaks pembicaraan tentang jati diri Yesus dan merupakan jawaban atas pertanyaan "Adakah engkau lebih besar .dari pada bapa kita Abraham yang telah mati!" (ayat 53; bnd. 4:12). Ucapan "Aku telah ada" juga merupakan tanggapan terhadap pertanyaan "Dengan siapakah engkau samakan diri-Mu?" (ayat 53). Masalah jati diri Yesus juga menimbulkan pertanyaan dalam ayat 57 yang langsung memicu jawaban EGÔ EIMI ini. Dengan demikian, Yesus mengucapkan EGÔ EIMI bukan hanya untuk menyatakan bahwa Ia telah ada sebelum Abraham, melainkan juga bahwa keberadaan itu tetap berlaku. Karena itu ucapan EGÔ EIMI ini langsung menyangkut sifat hakiki-Nya [26].
.
Mungkin ucapan "Aku telah ada" dalam ayat 58 sebaiknya tidak dianggap sebagai acuan langsung kepada salah satu ucapan dalam Kitab Yesaya, melainkan sebagai perkembangan khusus dari acuan-acuan yang berkaitan dengan ucapan-ucapan lain dalam Yohanes 8 [27]. Struktur pasal itu tampaknya menunjukkan bahwa pembaca mesti menyadari adanya interaksi antara segala frasa EGÔ EIMI dalam perdebatan dengan orang Yahudi ini[28], Jelaslah, frase EGÔ EIMI dalam ayat yang terakhir ini memaksa pembaca memahami kata-kata Yesus sebagai penyataan bahwa Ia sama dengan Allah. Reaksi orang Yahudi ("mereka mengambil batu untuk melempari Dia") menguatkan pendapat bahwa Yesus menyamakan diri-Nya dengan Allah pada saat Ia mengucapkan "Akulah Dia" pada bagian sebelumnya dalam Yohanes 8. Sebenarnya up nyata juga dari bentuk ucapan terakhir ini yang berbeda sedikit dari bentuk ucapan ego eimi lainnya dalam Yohanes 8. Pembaca yang memahami Yohanes 8:24 dan 28 sebagai acuan kepada pernyataan TUHAN yang bersifat ekslusif akan menyadari bahwa ucapan Yesus tersebut memang demikian maksudnya. Dengan memakai kata-kata yang sama (EGÔ EIMI), Yesus menyatakan bahwa Ia sudah ada sebelum Abraham ada. Ia bukan hanya memakai kata-kata Allah, melainkan menyamakan diri-Nya dengan Allah. Orang-orang Yahudi dapat memahami makna perkataan-Nya, tetapi mereka tidak mau mengakui kesaksian-Nya benar. Karena itu mereka hendak melempari Yesus.
Catatan :
[26] Jika kita menggunakan kategori-kategori Bultmann (1971: hlm. 225) sukar untuk memutuskan mana yang cocok untuk pemakaian egô eimi di sini. Dapat dikatakan kata-kata ini menerangkan orang yang bagaimana Yesus itu, yakni Ia sudah ada sebelum menjadi manusia dan tidak seperti Abraham. Karena itu ucapan tersebut dapat digolongkan ke dalam kategori menyifatkan, Memang Yesus tidak secara langsung menyebut diri-Nya sebagai orang yang dinantikan itu, sehingga tidak termasuk kategoripernyataan, namun mungkin juga Ia menyamakan diri-Nya dengan Allah. Ini diperkuat oleh kenyataan bahwa orang Yahudi ingin melempari Dia. Ketika mereka hendak melempari Dia lagi mereka menyebut alasannya ialah "karena engkau sekalipun hanya seorang manusia saja, menyamakan diriMu dengan Allah" (Yohanes 10:33). Lihat uraian selanjutnya.
[27] Dalam tesis saya ditelusuri hubungan-hubungan lain yang mungkin ada antara Yesaya 42-43 dan ucapan egô eimi yang terakhir dalam Yohanes 8 ini. Dalam terjemahan Septuaginta dari Yesaya 43:10b, kata kerja ginomai terdapat dalam ayat yang sama dengan "Akulah Dia". Dalam Kitab Yesaya dua kata kerja itu tidak dikontraskan, sehingga hubungan antara keduanya tidak meyakinkan. Targum Yesaya juga menyebutkan Abraham dalam konteks ini dan hal ini juga ditelusuri dalam tesis saya.
[28] Inilah antara lain yang ditekankan oleh Robert (1988) yang ingin menerjemahkan egô eimi dalam Yohanes 8:24,28 dan 58 dengan cara yang sama. Menurut dia ketiga pemakaian itu bersifat "mutlak" (tidak mempunyai predikat), sehingga ketiganya harus mengikuti bentuk yang dipakai dalam Yohanes 8:58 dan bukan bentuk kedua ayat lainnya yang sering diterjemahkan dengan cara yang bermakna ganda. Harus diakui, Robert memandang egô eimi sebagai pengucapan nama Allah dan mengandaikan istilah itu dipakai secara konsisten.
2. Implikasi latar belakang itu
- Sebagai kesimpulan, berikut ini akan dijelaskan empat implikasi dari latar belakang ucapan EGÔ EIMI dalam Kitab Yesaya menyangkut masalah pluralisme agama [29]. Harner (1970: hlm. 7-15) memperlihatkan enam ciri khas penggunaan ani hu dalam Deutero-Yesaya dan kita akan memusatkan perhatian pada empat dari keenam ciri tersebut untuk memperlihatkan kesejajaran ciri-ciri itu dengan frasa EGÔ EIMI dalam Injil Yohanes.
a. Ucapan khas Tuhan Allah
Perkataan 'ANI HU senantiasa diucapkan oleh YHVH saja dan dikaitkan erat dengan ungkapan lain yang dipakai Allah untuk menyatakan diri-Nya, khususnya dengan frase 'ANI YHVH. Harner (1970: hlm. 7,14) berkata:
- "Frase 'ANI HU dalam Deutero- Yesaya senantiasa diucapkan oleh YHVH. Pernyataan ini hanya dapat diucapkan oleh Allah .sendiri, Jika ada orang lain yang mengungkapkan kata-kata ini, maka ia menyombongkan dirinya, mencoba menyamakan dirinya dengan YHVH, atau menggantikan-Nya. Salah satu contoh untuk ini terdapat dalam Yesaya 47:8,10 di mana Babel dengan sombong berkata 'Aku ada, tiada yang lain di sampingku!'[30]
Menarik sekali, Yesaya di sini memakai sepatah kata saja ('ANI) untuk menyatakan "Aku ada". Jelaslah ia memperhadapkan penyataan Babel itu dengan 'ANI HU yang diucapkan YHVH, namun ia tidak membiarkan seorang pun kecuali YHVH memakai frase tersebut. :
Kita perhatikan, frase "Akulah Dia" kadang-kadang muncul dalam bentuk "Akulah TUHAN" atau "Aku tetap Dia" (misalnya Yesaya 41:4, 43:10,13). Dalam Yesaya 51:12 frase ini ('Akulah, Akulah yang . . .') muncul dalam konteks yang sama dengan frase 'Akulah TUHAN Allahmu' (ayat 15) dan dalam Yesaya 46:4 "Aku tetap Dia" diikuti dengan frase "Akulah Allah" dalam ayat 9. Dalam Yesaya 48:12 frase ini terdapat dalam kalimat yang hampir sama dengan kalimat dalam Yesaya 41:4 yang memakai kedua frase "Aku TUHAN" dan "Aku tetap Dia". Semua ini menunjukkan, bahwa Yesaya memakai frase "Akulah Dia" sebagai bentuk singkat dari ungkapan lain, khususnya dari "Akulah YHVH". Dengan frase singkat itu ia meringkaskan segala sesuatu yang terkandung dalam ungkapan yang lebih panjang."
Sangat mengesankan, Yesus menyebut diri-Nya sendiri dengan suatu ungkapan dalam Kitab Yesaya yang hanya digunakan untuk Allah sendiri. Memang frase EGÔ EIMI tidak dipakai hanya oleh Yesus saja dalam Injil Yohanes (lihat 9:9). Namun cara Yesus memakai ungkapan itu begitu erat menyamakan diri-Nya dengan karya penyelamatan YHVH, bahkan dengan YHVH sendiri, sehingga EGÔ EIMI itu searti dengan ucapan "Aku dan Bapa adalah satu" (10:30). Orang Yahudi memahami bahwa dengan berkata demikian Yesus menyamakan diri-Nya dengan Allah (10:33), sehingga mereka hendak melempari Dia dengan batu. Reaksi ini menegaskan kepada pembaca bahwa orang Yahudi itu memahami kata-kata dalam Yohanes 8:58 dengan cara yang sama. Dalam Kitab Yesaya frase 'ANI HU diucapkan TUHAN untuk menyatakan hak-Nya yang eksklusif atas umat-Nya. Karena itu jika ada orang yang mengutip frase tersebut dalam konteks seperti itu dan menyebut dirinya demikian, maka orang itu menyombongkan diri secara keterlaluan. Demikianlah penilaian orang Yahudi terhadap ucapan Yesus. Tetapi dari sudut pandangan Injil Yohanes, bukanlah Yesus yang menyamakan diri-Nya dengan Allah, melainkan sebaliknya: Firman yang pada mulanya bersama-sama dengan Allah dan adalah Allah telah menjadi manusia (sarx egeneto, 1:14).
Karena dalam Injil Yohanes, kata-kata tersebut diucapkan oleh Yesus, maka setidaknya itu berarti bahwa jemaat penganut ajaran Yohanes memandang kata-kata itu bukan hanya sebagai pengakuan mereka saja, melainkan sebagai kebenaran mengenai jati diri Yesus. Dari segi kristologi Yohanes, Yesus adalah unik, bukan karena apa yang Allah lakukan melalui Dia sebagai manusia, melainkan karena Ia sendiri bersifat ilahi (lihat Wright 1990: hlm. 22). Yohanes 8:58 berbicara tentang kodrat ilahi Yesus yang ada sebelum Abraham ada. Perkataan prin abraam genesthai egô eimi dalam Yohanes 8:58 yang membuat orang Yahudi marah sekali masih sangat dibenci oleh orang Yahudi dan orang Islam masa kini, karena kata-kata itu menyamakan hakikat Yesus dengan hakikat Allah. Mereka menolak keras pandangan bahwa Allah menjadi manusia; seseorang menyamakan diri dengan Allah dianggap menghujat Allah [31].
Acuan kepada 'ANI HU dalam Kitab Yesaya menyangkut penyamaan diri Yesus dengan perkataan; karya dan hakikat Allah.
Beberapa ahli berpendapat, kata-kata ini hanya mencerminkan pengakuan iman jemaat Kristen mula-mula. Pendapat ini tidak hanya menyangkal kebenaran kata-kata itu sebagai kesaksian tentang Yesus, tetapi juga mengabaikan bahwa jemaat penganut Yohanes meyakini hakikat Yesus sama dengan Allah. Bagi penulis Injil Yohanes inkarnasi bukanlah mitos dan tidak hanya menyatakan apa yang mereka lihat tentang Allah dalam diri Yesus[32]. Firman menjadi manusia bukan hanya suatu tafsiran tentang makna Yesus (demikianlah pendapat Wiles 1977: hlm. 2), melainkan sungguh-sungguh makna Yesus sendiri. Seandainya Anak itu tidak datang dan diam di antara manusia, maka Bapa tidak akan dinyatakan (1:14,18). Bagi Yohanes, Anak itu dapat menyatakan Bapa bukan hanya karena Ia ada dalam pangkuan Bapa, melainkan karena Ia adalah Firman yang pada mulanya ada bersama-sama dengan Allah. Singkatnya, Ia adalah Allah. Penyamaan Yesus dengan Allah secara hakiki (ontologis), merupakan dasar bagi pemakaian ucapan EGÔ EIMI yang dikemukakan di atas.
Penyamaan ini merupakan dasar kristologi Yohanes. Wiles (1977: hlm. 3) mengatakan, "inkarnasi tidak langsung dinyatakan dalam Alkitab". Pendapat ini salah sama sekali (bandingkan Yohanes 1:1 dan 1:14) kecuali bila yang dimaksudkan ialah bahwa inkarnasi tidak diungkapkan dalam Alkitab sebagai rumusan pengakuan gereja. Bahkan pengecualian ini juga tidak benar seluruhnya mengingat apa yang dikatakan dalam Ibrani 1:2 dan Filipi 2:6. Menurut Wiles (hlm. 4) "Injil yang keempat (yang paling mendekati ajaran ini) juga tidak menegaskan ajaran tentang inkarnasi yang diterima pada abad-abad kemudian". Sebaliknya, dalam bagian akhir Injil Yohanes, Tomas mengaku Yesus sebagai "Tuhan dan Allahku" dan Yesus menerima pengakuan itu (Yohanes 20:28).
Wiles (1977: hlm. 4) memahami Injil Yohanes "dengan cara yang tidak historis belaka". Yang membuatnya berpendapat demikian adalah kedua pernyataan Yesus: Ia satu dengan Bapa dan Dia ada sebelum Abraham. Bagi Wiles ini berarti "implikasi-implikasi Injil Yohanes bagi ajaran Kristen mungkin berbeda sekarang dengan apa yang dipahami oleh jemaat Kristen mula-mula" [33]. Ini menandakan bahwa Wiles memahami implikasi kristologi Yohanes, yang bersifat hakiki (ontologis), bukan hanya bersifat fungsional. Dengan ucapan-ucapan EGÔ EIMI Yesus mengungkapkan sesuatu yang hanya boleh diungkapkan oleh Allah. Kata-kata Yesus bukan penyombongan diri, melainkan justru membuktikan kesamaan hakikat Yesus dan hakikat Anah. Ini didukung oleh kenyataan bahwa ucapan-ucapan Yesus dalam Injil Yohanes sering mengambil bentuk yang mengingatkan ucapan-ucapan YHVH dalam Kitab Yesaya.
Catatan :
[29] Uraian ini ditujukan secara khusus terhadap pendapat-pendapat Hick (1977) dan Wiles (1977). Ucapan-ucapan "Akulah Dia" dalarn Injil Yohanes sangat relevan bagi masalah inkarnasi.
[30] Sayang, TB membuang kata-kata "Aku ada": bandingkan Tetjemahan Lama. "Aku yang demikian ini, maka seorang pun tiada yang lebih dari padaku".
[31] Setidak-tidaknya Yesus menyatakan bahwa Dia adalah sama dengan Allah (bandingkan Yohanes 5:18). Sangat mungkin, hal ini berarti Ia secara hakiki satu dengan Allah (bnd. reaksi orang Yahudi dalam Yohanes 10:33).
[32] Hick (1977: hlm. 178) mendefinisikan mitos sebagai "cerita yang tidak benar secara harfiah, atau gagasan atau kiasan yang tidak diterapkan secara harfiah kepada sesuatu tetapi yang mengundang sikap tertentu dari para pendengar. Secara harfiah tidak benar bahwa Yesus adalah Anak Allah yang menjadi manusia karena kata-kata itu tidak mempunyai arti harfiah. Gelar ini merupakan suatu gagasan mitologis yang dikenakan kepada Yesus; fungsinya sama dengan kedudukan seorang raja yang dianggap sebagai anak dewa di dunia kuno.
[33] Wiles (1977: hlm. 4) menghubungkan historisitas Injil Yohanes dengan keabsahannya sebagai dasar ajaran Kristen. Dengan demikian secara tidak langsung mengakui bahwa otoritas ajaran Kristen berhubungan erat dengan historisitas. Mengingat Yohanes mengemukakan suatu kristologi ontologis (menyangkut hakikat Kristus), mungkin Wiles mengusulkan agar Injil Yohanes jangan dipandang sebagai catatan historis atas dasar kepercayaan sendiri bahwa Yesus bukanlah Anak Allah.
b. Hanya YHVH saja Allah
Frase 'ANI HU mempunyai makna bahwa hanya YHVH saja Allah, kontras dengan ilah-ilah yang disembah bangsa-bangsa lain. Menurut Harner (1970: hlm. 8):
- "Penegasan tentang monoteisme yang menyisihkan ilah-ilah lain merupakan tema besar Deutero-Yesaya yang diungkapkan dengan berbagai cara . . . Secara eksplisit ia menegaskan, tidak ada ilah kecuali YHVH" (Yesaya 44:6,8; 45:5,6,18,21,22; 46:9).
Seperti yang dikemukakan di atas, ucapan-ucapan "Akulah Dia" dalam Injil Yohanes sengaja mengacu kepada ucapan-ucapan yang serupa dalam Kitab Yesaya. Perlu diperhatikan, Yesus bukan hanya disamakan dengan Allah, tetapi juga mengambil alih suatu frase, yang menyisihkan ilah-ilah lain. Dalam uraian tentang Yesaya 41:4, Whybray (1975: hlm. 61) mengemukakan:
- "Sejak awal sejarah YHVH berkarya, dan Ia juga adalah 'yang pertama'. Ia tidak diturunkan dari ilah-ilah lain sebagaimana ilah-ilah Babel merupakan keturunan dari ilah-ilah sebelumnya. Hanya YHVH saja yang tidak mempunyai silsilah (bandingkan 43:10). YHVH adalah juga Yang terakhir; Ia akan tetap sebagai Allah ketika generasi manusia yang terakhir berakhir. Agama Babel dan agama-agama lain dari Timur Tengah tidak mempunyai pernyataan seperti itu. Dalam agama politeis pernyataan demikian itu tidak terbayangkan. Bahkan dalam sejarah agama Israel hal itu belum pernah dinyatakan begitu jelas seperti dalam Kitab Yesaya. Seperti yang diperlihatkan dari perikop-perikop lain, 'Akulah Dia' dipakai oleh Deutero-Yesaya khusus untuk menyatakan keyakinan bahwa YHVHlah Allah satu-satunya."
Sama seperti ucapan-ucapan "Akulah Dia" dalam Kitab Yesaya, ucapan-ucapan EGÔ EIMI dalam Injil Yohanes menyatakan bahwa Allah adalah Yang satu-satunya. Ini tampak dari pernyataan Yesus dalam ucapan-ucapan "Aku adalah" yang diikuti dengan predikat. Yesus mengatakan, Dialah Jalan satu-satunya bagi mereka yang mau datang kepada Bapa (Yohanes 14:6). Ia memakai gagasan dari Perjanjian Lama ketika Ia menyatakan diri-Nya sebagai gembala yang baik dan pokok anggur yang benar; tidak ada orang lain yang dapat memakai gelar-gelar itu. Semua orang yang datang sebelum Dia adalah pencuri dan perampok, tetapi Dia adalah pintu dan barangsiapa yang masuk melalui Dia akan selamat (Yohanes 10:8,9). Perkataan "kamu akan mati dalam dosamu" (Yohanes 8:24) menunjukkan hanya Yesus yang dapat mengampuni dosa dan pengampunan itu terjadi hanya melalui kepercayaan kepada Dia sebagai Yang sama dengan Allah.
Bahasa seperti itu dan khususnya dalam rumusannya menurut Pengakuan Iman Nicea, "berarti Allah dapat dikenal dan ditanggapi hanya melalui Yesus dan dengan demikian segala hidup keagamaan di luar kepercayaan Yahudi-Kristen bd-ada di luar lingkupan penyelamatan oleh Allah" (Hick 1977: hlm. 174). Hick sendiri menolak teologi seperti ini, dengan alasan agama Kristen pada masa kini harus berhadapan dengan agama-agamaIain. Namun Hick menganggap Injil Yohanes ditulis di Efesus menjelang akhir abad pertama [34]. Jika ini benar, maka Injil Yohanes ditujukan kepada jemaat yang sudah biasa berhadapan dengan agama-agama lain dalam situasi yang hampir sama dengan masa kini. Yohanes tidak memandang Kristus sebagai semacam ilah yang mengambil alih kedudukan ilah-ilah lain di Efesus dan Asia Kecil, sehingga seperti yang dikatakan Hick (hlm. 181):
- "Keselamatan dalam semua agama dilaksanakan oleh Logos. Setiap bangsa memakai lambang-lambang yang berbeda-beda, namun semua orang dalam budaya dan agama yang berbeda dapat bertemu dengan Logos itu dan memperoleh keselamatan." [35]
Justru sebaliknya. Yohanes menggambarkan Kristus sebagai seorang yang menyebut diri-Nya sendiri dengan kata-kata yang hanya dipakai untukYHVH yaitu: YHVH saja Allah satu-satunya, bukan ilah-ilah bangsa-bangsa lain, Sungguh ironis, . Hick justru memakai istilah LOGOS untuk Kristus yang diciptakan oleh imajinasinya itu, padahal LOGOS merupakan istilah yang langsung menyatakan kesamaan hakikat Yesus dengan Allah.
Catatan :
[34] Hick (1977: hlm. 171). Menurut Kisah Para Rasul 19, huru-hara di Efesus terjadi karena mereka yang berpaling kepada Kristus tidak menyembah lagi ilah-ilah seperti Artemis. Seandainya Injil Yohanes tidak ditulis di Efesus, tetap saja tidak ada tempat dalam kerajaan Roma, di mana jemaat Kristen mula-mula dapat memisahkan diri dari agama-agama lain, kecuali mungkin di Palestina.
[35] Bandingkan Cracknell (1986: hlm. 90-107) yang memakai "Logos" dengan arti inklusif, yakni ada keselamatan terdapat juga dalam agama-agama lain.
c. YHVH sebagai Tuhan sejarah
Frase ani hu menggambarkan YHVH sebagai Tuhan atas sejarah, karena itu merupakan seruan untuk percaya kepada Dia sebagai penebus Israel (bandingkan Harner 1970: hlm. 7).
- "Bagi Deutero-Yesaya kepercayaan kepada Allah sebagai TUHAN atas sejarah berkaitan erat dengan pernyataan bahwa hanya Dia saja Allah. Keyakinan akan kuasa YHVH atas sejarah ini dinyatakan secara khusus dalam keyakinan sang nabi bahwa YHVH akan segera menebus Israel dan memulangkan mereka pulang ke tanah air mereka. Gagasan-gagasan ini terjalin dalam beberapa perikop" (Yesaya 44:6-8; 45:1-8; 46:5-13; Harner 1970: hlm. 9).
Salah satu tugas Deutero-Yesaya adalah menguatkan iman orang-orang buangan di Babel. Ia meyakinkan mereka bahwa YHVH akan segera membawa mereka kembali ke negeri mereka. Ia sadar, banyak orang menggangap YHVH tak berdaya, sebab raja Babel telah menghancurkan Rumah Allah di Yerusalem, lalu membawa banyak orang Israel ke pembuangan. Dalam konteks yang memerlukan pemulihan iman ini, Yesaya menggambarkan YHVH menyebut diri-Nya sebagai 'Aku tetap Dia'" (Harner 1970: hlm. 13).
Seperti yang dikemukakan di atas, ucapan Yesus "Akulah Dia yang sedang berkata-kata dengan engkau" (4:26) dengan sengaja mengacu kepada saat ketika TUHAN akan menebus Yerusalem dan secara tidak langsung menyamakan Yesus dengan penebusan itu. Bagaimana pun juga, ucapan-ucapan "Akulah Dia" dalam Injil Yohanes, sama seperti dalam Yesaya telah digenapi dalam sebuah peristiwa sejarah. Murid-murid Yesus akan percaya "bahwa Akulah Dia" (13:19) dalam peristiw-peristiwa sesudah Yesus dikhinanati oleh Yudas. Manakala para pengikut dan penentang Yesus melihat bagaimana Ia dikhianati, menderita dan disalibkan, mereka akan sadar, Dialah yang melaksanakan penyelamatan oleh YHVH itu [36]. Mereka akan menyadari, dengan menyebut diri-Nya dengan kata-kata TUHAN, Yesus sendiri yang menghapus dosa, sebab hanya Dia yang bersatu dengan Bapa. Dengan cara memakai EGÔ EIMI ini, Yohanes juga ingin membuat para pembacanya percaya.
Penyamaan diri Yesus dengan Allah dalam penyaliban dan pengkhianatan merupakan masalah bagi para penganut pluralisme agama. Hick (hlm, 172) mengemukakan bahwa kita tidak perlu lagi memandang Yesus sebagai inkarnasi Allah, dan juga tidak membicarakan makna salib Kristus dalam teologinya. Padahal, justru inkarnasi serta salib itulah yang membuat agama Kristen unik. Secara samar ia menyatakan, "pertemuan dengan Yesus senantiasa dapat menjadi titik balik dalam kehidupan seseorang, suatu krisis penyelamatan atau penghukuman". Tetapi ia tidak menjelaskan, orang tersebut diselamatkan dari apa, atau apa yang dihukum dalam pertemuan ini. Tampaknya pertemuan tersebut tidak terjadi sebagai bagian dari karya penebusan yang menentukan, seperti dalam teologi Kristen ortodoks[37]. Sementara, dalam Injil Yohanes, salib merupakan puncak kehidupan Yesus. Dari salib itu Ia berseru "Sudah selesai" (Yohanes 19:30). Dalam peristiwa ini Sang Gembala benar-benar mempertaruhkan diri dalam menjaga domba-domba-Nya, yaitu dengan menyerahkan nyawa-Nya sendiri bagi mereka (10:11,18). Ucapan-ucapan "Akulah Dia" menghubungkan penyamaan diri Yesus dengan Allah dalam Kitab Yesaya dengan peninggian-Nya di atas salib (Yohanes 8:28). Orang Yahudi akan diselamatkan dari kematian karena dosa-dosa mereka bila mereka percaya bahwa Yesus adalah Allah sendiri (Yohanes 8:24)
.
Catatan :
[36] Menarik juga Yohanes Pembaptis menyebutkan tugasnya sebagai penggenapan kata-kata Kitab Suci "Iuruskanlah jalan Tuhan!" (Yohanes 1:23). Menurut konteksnya dalam Kitab Yesaya, ucapan ini, sama seperti ucapan "Akulah Dia", berbicara mengenai persiapan bagi kedatangan TUHAN. Akan tetapi, dalam Injil Yohanes jalan itu dipersiapkan bagi Yesus.
[37] Hick mengusulkan agar inkamasi dianggap sebagai mitos. Dengan demikian ia menyingkirkan keyakinan agama Kristen bahwa dalam Yesus, Allah secara menentukan memungkinkan penyelamatan manusia. Hick menciptakan suatu tokoh Yesus yang dapat ditenma oleh segala agama, dan dengan demikian dia justru menciptakan suatu mitos yang tidak didasarkan pada bukti historis mengenai Yesus dari Nazaret dan yang tidak berpengaruh bagi sejarah. F. Young (1977: hlm. 30,37) yangjuga menganut suatu teologi tanpa inkarnasi mencoba mengartikan salib dengan mengakui perlunya salib "untuk mengalahkan kejahatan, penderitaan dan dosa melalui meditasi terhadap cerita tentang Allah yang tersalib". Ia menyimpulkan bahwa Yesus hendaknya dilihat sebagai panutan orang percaya; di dalam Yesus "Allah terlibat dalam realitas keberadaan manusia, dengan mengalami kompromi.. pencobaan, penderitaan, penyakit. ketidakadilan, kekejaman, dan kematian yang biasa untuk keberadaan tersebut". Namun, penyamaan hakikat Yesus dengan hakikat Allah yang dinyatakan dalam ucapan-ucapan "Akulah Dia" tidak hanya berbicara tentang empati Allah dengan manusia dalam penderitaannya, melainkan juga tentang suatu peristiwa historis yang dapat menyelamatkan orang Yahudi sehingga mereka tidak mati dalam dosa mereka.
c. YHVH sebagai Pencipta dunia
Bagi Deutero-Yesaya percaya akan YHVH sebagai penebus Israel berkaitan erat dengan percaya kepada Dia sebagai-Pencipta dunia.
- "Perlu untuk diperhatikan ... Deutero-Yesaya mengaitkan frase 'ANI HU dengan kepercayaan kepada Allah Pencipta. Dengan demikian ia menunjukkan bahwa selain maknanya yang lain, frase tentang penyataan diri Allah itu juga menggambarkan YHVH sebagai pencipta dunia" (Harner 1970: hlm, 10).
3. Kesimpulan
Sebagai kesimpulan, dapat dikatakan, melalui frase EGÔ EIMI, Yohanes memperlihatkan Yesus sebagai penggenapan nubuat-nubuat Yesaya [38]. Nubuat-nubuat itu menggambarkan saat, ketika TUHAN sendiri akan menebus umat-Nya dab membawa mereka pulang ke negeri mereka sendiri. TUHAN saja yang dapat berbuat demikian, karena Dialah Pencipta dan juga TUHAN atas sejarah. Ilah-ilah Babel tidak dapat berbuat demikian. Ketika Yesus berkata "Akulah Dia" seperti yang terdapat dalam Kitab Yesaya, Ia tidak hanya menyamakan diri dengan Allah Israel yang esa dan sejati, tetapi juga menyatakan bahwa hari penyelamatan itu sedang digenapi dalam Dia.
Gambaran Yohanes tentang Yesus langsung bertolak belakang dengan pandangan Hick (1977: hlm. 173-174). Menurut Yohanes, Yesus terlebih dahulu menyatakan diri-Nya sama dengan Allah, baru kemudian Dia disembah sebagai Allah, bukan sebaliknya. Yohanes tidak mengatakan bahwa Yesus hanya diakui atau disembah sama dengan Allah, melainkan Yesus sendiri yang menyamakan diri-Nya dengan Allah. Justru ungkapan inilah yang menimbulkan perlawanan dari para pendengar-Nya (Yohanes 8:59; 10:31-33). Ungkapan ini juga yang menyebabkan Hick dan Wiles menganjurkan agar Injil Yohanes tidak dianggap bersifat sejarah [39]. Menurut mereka Injil Yohanes hendaknya dipandang sebagai tulisan orang Kristen pada kemudian hari, yang tidak memuat catatan historis tentang kata-kata Yesus. Dengan demikian, mereka berharap, agama Kristen tidak lagi akan menafsirkan inkarnasi secara harfiah (Hick 1977: hlm. 183). Jelaslah kata-kata yang merupakan batu sandungan untuk para pendengar Yesus, masih menjadi batu sandungan bagi para penganut pluralisme agama yang membaca Injil Yohanes pada saat ini. Bedanya, para penganut pluralisme agama tidak ingin mengecam Yesus "historis" yang menyebut diri-Nya seperti itu; mereka justru mengecam gereja dan menganggapnya terlalu sombong karena menyamakan Yesus dengan Allah Israel yang satu-satunya itu. Pada masa kini, sekali lagi Yesus yang dilukiskan dalam Injil Yohanes itu harus "menghilang dan meninggalkan Bait Allah" (Yohanes 8:59).
Sekalipun demikian, selama ada pengikut-pengikut Yesus dalam dunia, pastilah Ia tetap menjadi terang dunia (Yohanes 9:5). Yesus yang digambarkan Yohanes akan terus menjawab kebutuhan mereka yang buta sejak lahir, sekalipun mungkin saja mereka juga akan dikucilkan, sebab sudah diputuskan bahwa mereka yang mengaku Yesus sebagai Mesias akan dikucilkan (Yohanes 9:22).
Catatan :
[38]Jika, seperti yang dikemukakan oleh Coetzee (1986: hlm. 171), ucapan-ucapan egô eimi Yesus memang sengaja mengacu kepada nubuat-nubuat dalam Yesaya 42-43, maka dapat dikatakan, Yesus mengatakan bahwa nubuat-nubuat itu digenapi dalam diri-Nya sendiri.
[39] Demikianlah pandangan Wiles (1977: hlm. 4) yang menganjurkan agar Injil Yohanes tidak dipakai lagi untuk berbicara tentang ajaran Kristen. Sebab menurut dia. Implikasi-implikasi kristologi Yohanes jelas bertentangan dengan ajarannya sendiri. Hick (1980: hlm. 185) juga mengakui hal yang sama.
Kepustakaan :
Ball,D.M., 1992, "'I Am' in context: The literary function, background and theological implications of ego eimi in John's Gospel", disertasi Universitas Sheffield.
Barrett, C. K.
1978, The Gospel according to St. John, London (SPCK),
1982. Essays on John, London (SPCK).
Borgen, P., 1967, Bread from Heaven: An Exegetical Study of the Concept of Manna in the Gospel of John and the Writings of Philo, Leiden (Brill, SNovT 10).
Brown, R. E., 1966, The Gospel according to John, New York (Doubleday, Anchor Bible, dua jilid).
Bultmann, R.
1955, Theology of the New Testament 2, London (SCM).
1971, The Gospel of John: A Commentary, Oxford (Blackwell, terjemahan). Carson, D. A.
1991, The Gospel according to John, Leicester (IVP)jGrand Rapids (Eerdmans).
Charlier, J. P., 1960, "L'exegese Johannique d'un Precepte Legal: Jean viii.17", RB 67.
Chilton, B. D., 1987, The Isaian Targum, The Aramaic Bible 11, Edinburgh (T. & T. Clark).
Coetzee, J. C., 1986, "Jesus' Revelation in the Ego Eimi sayings in Jn 8 and 9" dalam A South African Perspective on the NT (penyunting J. H. Petzer & P. J. Hartin), Leiden (Brill).
Cracknell, K., 1986, Towards a New Relationship: Christians and People of Other Faith, London (Epworth).
Dodd, C. H. 1954 The Interpretation of the Fourth Gospel, Cambridge (CUP).
Forestell, J, 1974, The Word of the Cross: Salvation as Revelation in the Fourth Gospel, Rome (Pontifical Bible Institute).
Freed, E. D., 1982, "Ego Eimi in Jn viii.24 in the light of its context and Jewish Messianic belief", JTS 33: hlm. 67.
Guilding, A., 1960, The Fourth Gospel and Jewish Worship: A Study of the Relation of St John's Gospel to the ancient Jewish lectionary system, Oxford (Clarendon Press).
Harner, P. B., 1970, The 'I am' of the Fourth Gospel, Philadelphia (Fortress).
Hick, J., 1977, "Jesus and the World Religions" dalam The Myth of God Incamate (penyunting J. Hick), London (SCM).
1980, "Whatever path men choose is mine" dalam Christianity and Other Religions (penyunting J. Hick & B. Hebblethwaite), Glasgow (Collins): hlm. 171-190.
Hoskyns, E. C., 1940 , The Fourth Gospel, London.
Lindars, B., 1972, The Gospel of John, London (Oliphants, NCB).
McKenzie, J. L., 1968, Second Isaiah, New York (Doubleday, Anchor Bible 20).
Robert, R., 1988, "Le Malentendu sur Ie Nom, divin au chaptre VIII de quatrierne evangile", Revue Thomiste 88.2: hlm. 278-287.
Robinson, J. A. T., 1985, The Priority of John, London (SCM).
Schnackenburg, R., 1971, The Gospel according la St John, jilid 2, London (Bums & Oates).
Turner, M., 1990, "Atonement and the Death of Jesus in .lohn: Some Questions to Bulunann and Forestell", EQ 62.2: hlm. 99-122
Westermann, C., 1966, Isaiah 40-66, London (SCM, OTL, terjemahan).
Whybray, R. N., 1975, [i]Isaiah 40-66" London (Oliphants, NCB).
Wiles,M., 1977, "Christianity without incarnation?" dalam The Mytn of God Incarnate (penyunting J. Hick), London (SCM).
Wright, C., 1990, What's Sa Unique abaut Jesus?, Eastbourne (Monareh).
Young, E. J., 1972, The Book of Isaiah 3. Grand Rapids (Eerdmans, New International Commentary).
Young, F., 1977 , "A Cloud of Witnesses" dalam "the My th of God Incarnate (penyunting .I. Hick), London (SCM).
Disalin dari :
- Andrew D Clarke & Bruce W Winter, Satu Allah, Satu Tuhan, BPK Gunung Mulia, hal
=================================================================
BANTAHAN(nanti)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar